Elyn membangunkan Luna untuk berisap-siap ke kampus. Sudah dua
hari terakhir Luna membela diri untuk tetap menemani Elyn selama tinggal di Jakarta.
Elyn memanggil Luna beberapa kali namun ia tidak menyahut. Elyn masuk ke kamarnya
dan melihat Luna menutupi dirinya dengan selimut.
“ya ampun, Luna. Lo gak kuliah?”
“bis belum ada jam segini…” katanya dengan suara lemas.
“Ya lo siap-siap dulu kan bisa,” kata Elyn sedikit memaksa.
“Hmm…” Luna hanya menyahut. Elyn bisa mendengar nafas berat
dalam tidur Luna. Daripada kesal, Elyn menarik selimut anak itu dan melihat
sesuatu yang aneh pada Luna. Gadis itu mengigil. “Lun…”
“Lo sakit?”
“ng..nggak…” Luna kembali menarik selimutnya dan memunggungi
Elyn. Karena cemas, Elyn berusaha menyentuh kening Luna namun segera ditepis
oleh Luna. “Lun…”
“gue gak kenapa-kenapa. lima menit lagi, ya.” Kata Luna
kembali tenggelam dalam selimutnya.
Elyn merasa bersalah karena telah membuat Luna menjadi sakit
karenanya. Elyn berniat membuatkan bubur kesukaan Luna dan sayur sup jagung.
Elyn melihat Luna keluar dengan pakaian rapi. “berangkat ya,” pamitnya.
“lo gak makan dulu?” tanya Elyn sedikit khawatir.
Luna menggeleng yakin. “Gue cuma satu mata kuliah kok, hari
ini. jadi setelah itu gue pulang kesini dan nemenin lo keliling Jakarta.”
“tapi lo…”
“gue gak kenapa-kenapa,kok.” Kata Luna sembari tersenyum lalu
keluar dari hotel.
***
Galih tengah mengikuti matakuliah Managemen Bisnis dan merasa
mata kuliah tersebut sangat membosankan. Selama satu jam terakhir ia sudah
menguap sepuluh kali. Galih berusaha mengalihkan pandangannya keluar koridor,
mencari pemandangan lain—mungkin ia melihat wanita cantik lewat. Itu bisa
menjadi hiburan tersendiri bagi Galih.
Namun tidak ada yang lewat satupun kecuali Luna. “hah?” Galih
tersadar dan menyadari Luna berjalan sangat lambat sambil memperhatikannya.
Galih yang tidak mau tertangkap basah kalau tengah memperhatikan gadis itu,
langsung berpura-pura menggaruk dagunya. Ia melihat Luna yang tersenyum
padanya. Galih panic dan membuang muka ke papan tulis. Lalu ia melirik beberapa
saat dan memperhatikan ke koridor lagi, apakah Luna sudah menghilang dari koridor
?
Lalu tiba-tiba Galih tersenyum. Rasa ngantuknya seketika
hilang. Ia menulis satu nama di notes kecilnya.
Luna.
Setelah matakuliah selesai, Donni tiba-tiba berjalan
mendahului Galih. “Buru-buru banget, Don? Mau kemana?”
“Gue…” Donni tersenyum kecil, “ketemu Luna.”
“Hah? Ngapain?”
Galih penasaran, Sial! ngapain Donni ketemu Luna? Aduh! Galih
mulai panik.
“Hmm…” Donni berpikir sambil memutarkan bola matanya. “lo
percaya gak, kalo hari ini Luna bakal ngasih sesuatu yang special ke gue?”
tanya Donni seraya berputar dan pergi.
Galih terdiam. Kenapa hari ini Luna ingin memberikan sesuatu
yang special untuk Donni? Donni tidak sedang ulangtahun. Kenapa Luna harus
memberikannya ke Donni? Donni sudah punya pacar? Atau mungkin Donni memang
tengah menggodanya saja?
Galih tidak ambil pusing dan berjalan menuju lift yang ada di
luar lorong. Namun ia melihat sesuatu yang tidak ingin dilihatnya. Luna dan
Donni, bergenggaman tangan. Melihat bagaimana Luna tersenyum lembut pada Donni.
Oh, tidak. Galih berjalan mundur dan berlari melawan arah.
Luna, kenapa lo ngelakuin ini ke gue?
***
Luna menunggu Donni di depan lift. Ada kursi tunggu disana dan
Luna merasa sangat lelah. Keringat dingin sudah bercucuran keluar. Luna
mendesah dan bersandar pada dinding dan menunggu Donni keluar dari koridor itu.
Ia melihat jam tangan Swissnya yang menunjukkan pukul 09.00
pagi. Seharusnya matakuliah Donni sudah selesai. “10…9…8…7…” Luna menghitung
mundur berharap Donni datang tepat waktu.
“6…5…4…3…2…1…”
Tidak ada satupun yang keluar dari lorong
itu.
“nol…” dan Donni muncul dari belokan
koridor dan menyapa Luna. “hoi! Kok Luna lesu banget?” tanya Donni dengan
gayanya yang tetap letoy. Luna hanya tersenyum.
“gue lagi gak enak badan,”
“Oh ya?” Donni cemas dan hendak menyentuh
kening Luna namun Luna menepisnya.
“apaan sih, Don?”
“lo pasti demam, biar gue cek.” Donni tetap memaksa. Luna berusaha menepisnya
hingga akhirnya Luna mengenggam pergelangan tangan Donni dan tersenyum. “Don…”
sahut Luna menatapnya setengah memohon.
"Oke. Oke.” Donni pasrah. “Jadi apa yang
mau lo kasih ke gue? coklat?” tanya Donni sangat antusias.Luna merongoh tas ranselnya dan memberikan
sebuah map coklat pada Donni. Lalu Donni tersenyum meringis melihat map itu. “Okay,
gue ngerti maksud lo.”
***
Ponsel
Galih terus berdering memanggil—Donni terus menghubunginya namun Galih memilih
untuk tidak menjawabnya. Galih kemudian melahap takoyakinya dalam satu suapan
namun Seseorang mengejutkannya. “Akhirnya ketemu juga!” Galih langsung
mengenali suara itu. Si pengkhianat—Donni.
Donni
kemudian duduk dihadapan Galih dan meneguk botol minum milik Galih, “Ah! Segar.”
Lalu menatap Donni dengan tatapan tengil, “lo tadi kemana gue teleponin? Gue tunggu
di depan lift juga!” sungut Donni kesal.
“sibuk.” Kata
Donni kembali melahap takoyakinya. Sialan, lo masih bersikap gak terjadi
apa-apa? Batin Galih kesal.
"udahan
ketemu sama Luna?” tanya Galih berusaha menyembunyikan rasa cemburunya. “Udah.”
Jawab Donni dengan senyumnya yang menyebalkan.
“gue jadi kasian sama Tari, kalo dia tau lo lagi deket sama
Luna.” Gumam Galih sambil menatap sengit Donni.
“maksud lo?”
“Lo… suka sama Luna juga kan?” tanya Galih. Donni menyipitkan
mata dan menatap Galih dengan penuh curiga. “wow… tunggu dulu. Gue rasa lo
salah paham! Lo cemburu kalo gue deket sama Luna?” tanya Donni berusaha
bersikap setenang mungkin.
Galih terdiam. Cemburu? Ia cemburu? Galih dan Luna memang tidak ada lagi hubungan
kenapa Galih harus merasa cemburu pada Luna yang dekat dengan Donni?
“gue gak cemburu. Gue cuma ngingetin lo supaya jangan nyakitin
Tari.” Terang Galih.
“kapan gue akan nyakitin Tari? Dan kenapa gue harus?” tanya
Donni dengan tatapan sengit. “mengakui kalo lo cemburu karena lo masih ada
perasaan sama Luna, apa susahnya? Lo gak perlu bawa-bawa Tari kedalam kehidupan
cinta lo yang rumit sama Luna.” Sungut Donni mulai kesal.
“gue gak cemburu.”
“lo cemburu. Dan lo munafik.” Kata Donni.
“gue gak…”
“LO CEMBURU, LO MUNAFIK, DAN LO GAK PERNAH MAU NGASIH KESEMPATAN
BUAT DIRI LO SENDIRI UNTUK SEKALI MENCOBA MEMPERBAIKI SEMUA, GALIH! ITU MASALAH
LO!” kata Donni. Tiba-tiba Galih yang mendengarnya merasa kesal dan tanpa sadar
memukul wajah Donni dan Donni secara reflek membalas sekali pukulan Galih
sampai Ia tersungkur.
Donni berdiri
dihadapannya dengan nafas terengah-engah. Menatap Galih dengan rasa bersalah
namun juga penuh amarah. Donni mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan melemparnya
ke arah Galih. “Lo pikirin tuh, semuanya!” kata Donni seraya pergi.
Galih menatap amplop coklat itu dengan nafas yang
terengah-engah. Ia mengusap darah yang keluar dari tepi bibirnya lalu meraih amplop
coklat itu dan membukanya. Entah bagaimana, melihat isi amplop itu membuat
jantungnya nyaris berhenti berdetak.
Isi amplop itu adalah kumpulan sketsa milik Luna yang
menggambar Galih. Dengan sempurna. Tanpa ada yang cacat sedikitpun. Galih
merongoh isi amplop berharap Luna meninggalkan sesuatu yang lain. Ya. Galih
mendapatkan surat kecil didalamnya.
Aku disini, sampai hari ini.
Karena
kamu. Untuk Kamu.
Aku bernafas untukmu. Demi kamu.
Kalau kamu meminta aku berhenti, aku akan
berhenti.
Love,
Luna.
Galih mengusap wajahnya dan menutup mulutnya. Berusaha menahan tangis yang mungkin
bisa meledak kapapun.
***
Luna masuk ke shelter busway dan menunggu bus datang. Pikiran
dan tatapannya kosong. Kedua kakinya terasa berat. “Oh, tidak. Jangan disini.”
gumam Luna memohon pada tubuhnya agar tidak rubuh. Tak lama bus datang dan Luna
segera masuk dan menemukan kursi kosong. Lalu duduk disana dengan nafas yang
semakin berat.
***
Elyn melirik jam di dinding yang sudah menujuk ke arah jam 2
siang. Luna tak kunjung pulang. Elyn tidak berpikir Luna akan menemaninya
belanja hari ini. tapi, Ia khawatir Luna akan rubuh di jalan dan diperdaya
orang. Ah, tidak. Ia pasti akan baik-baik saja.
Selang beberapa menit kemudian, Bel rumah berbunyi nyaring—menyadarkan
Elyn dari lamunan yang terus membuatnya gelisah. “Gue harap itu Luna…” Elyn
segera berjalan menuju pintu dan membukanya.
“Luna?”
Luna hanya tersenyum dan tiba-tiba rubuh dihadapan Elyn. “YA
AMPUN, LUNA!”
***
Galih berjalan cepat memasuki rumah sakit.
beberapa waktu yang lalu, Annisa menghubunginya dan memberitahu kalau kakak
Luna—Elyn meminta Galih untuk datang ke rumah sakit. Ia memberi tahu Luna
terserang demam tinggi yang mengharuskannya dirawat intensive. Galih langsung
menuju meja resepsionist. “Suster, apakah ada pasien bernama Luna Oliver? Unit emergency?”
“Oh, tunggu sebentar.” Suster mengecek nama
pasien dan kemudian, “Oh, dia sudah dipindahkan keruang rawat ICU 4 dilantai
tiga.”
“Okay, terima kasih. Dimana tangga
daruratnya?” tanya Galih tidak mau lama menunggu lift. Ia khawatir setengah
mati dengan keadaan Luna.
“diujung sana,” kata suster menunjuk pintu
yang ada di sebelah kiri koridor. “oke, terima kasih suster.”
Elyn menatap adiknya yang tertidur pulas
dengan saluran infuse yang terpasang ditangan kanannya. “kamu pasti sayang
banget sama dia, Lun.” Gumam Elyn membelai rambut gadis itu. Hari ini, Elyn
terus mendengar Luna mengingaukan nama Galih. Namun Ia menyadari seseorang
tengah memperhatikan mereka dari jendela diluar sana. Itukah Galih?
Pria itu tersenyum pada Elyn.
Lima menit kemudian, Keduanya duduk diruang
tunggu didepan ruang rawat Luna. “Jadi lo yang namanya Galih?” tanya Elyn.
“ya, begitulah orang memanggil saya.” Kata Galih
tersenyum kecil.
“lo gak usah formal gitu kali. Adek gue
pasti cerita kalo gue orang yang formal karena gue dosen senior di UI.” Kata Elyn.
Galih tersenyum. “kakak mirip sama Luna.”
“Oh,ya?”
“dari cara bicaranya. Cara tertawanya.”
“gue harap lo gak jatuh cinta sama gue,”
gurau Elyn.
“gak. Gak akan, hati aku udah milik Luna,
kak.” Kata Galih sambil menatap Luna dari luar ruangan.
“lo cinta sama adek gue?” tanya Elyn
langsung ke inti pembicaraan. Galih terdiam. Menatap Luna dengan tatapan lemah
tak berdaya.
“Ya. Aku mencintainya sebagaimana Tuhan
mencintainya.”
Entah bagaimana Elyn langsung memberikan
kartu penunggu untuk memberikankan kesempatan pada Galih untuk menjaga Luna. “Gue
ada urusan, jadi gue mau lo jagain dia.”
“Ya? Boleh?” tanya Galih masih sedikit tak
percaya.
“Jaga dia seumur hidup lo.” kata Elyn seakan
menitipkan Luna sepenuhnya pada Galih.
“pasti…” kata Galih.
“Sana masuk, Luna udah nunggu lo.”
***
Galih kemudian masuk dan melihat Luna yang tertidur
sangat tenang. Dalam satu waktu ia merasa tak berdaya juga merasa bersalah
karena membuat Luna seperti ini. sebelum ada kata-kata yang terucap, Galih
melihat Luna tiba-tiba gelisah, “Galih… Galih… Jangan tinggalin aku… G..” Galih
segera membelai rambut Luna dan menenangkannya.
“Ssst… Aku disini, Luna. Aku disini, untuk
kamu. Aku gak kemana-mana, aku disini, karena kamu Luna” kata Galih berusaha
menahan tangisnya. Dadanya terasa sesak saat Luna memanggilnya dalam mimpinya.
Lalu Galih melihat airmata menetes dari ujung mata Luna. Apa yang Luna mimpikan
tentang dirinya didalam sana?
Melihat semua itu membuat Galih hampir
berhenti bernafas. “Aku disini, Luna. Aku gak akan ngebiarin kamu pergi lagi.”
kata Galih sambil perlahan menghapus airmata Luna. Tanpa sadar, airmata juga
menetes membasahi wajah Galih. Namun Galih mengabaikannya dan terus membelai
Luna.
***
Luna membuka matanya dan melihat cahaya
putih yang terang menyilaukannya. Butuh beberapa waktu ia harus terbiasa dengan
sinar lampu itu. Ia melihat kesekitar, Ia sudah menduga ia pasti akan masuk
rumah sakit. lalu ia menyadari satu tangannya terasa hangat. Ia merasa
seseorang mengenggam tangannya dan seseorang tertidur disisinya. Luna langsung
mengenali wajah itu. Astaga, dia disini? bagaimana bisa? Batin Luna berusaha
menutup mulutnya yang sangat terkejut. Namun Luna hanya bisa tersenyum dan
membelai rambut Galih. Ia sangat menyukai rambut anak itu—mengemaskan sekali.
Lalu tiba-tiba Galih terbangun dan menatap
Luna. Luna berpura-pura tidur. “kamu udah bangun, ya?” tanya Galih sambil
membelai rambut Luna. Ia bisa mendengar Galih tersenyum meledek. “udah, gak
usah pura-pura tidur,”
Luna tidak pandai berbohong langsung
tersenyum dan menatap Galih.
“aku udah ngeliat sketsa kamu. Sebel banget,
lebih bagus dari sketsa buatan aku.” Protes Galih sambil mencubit pipi Luna.
“Hehehe… kamu tau kemarin hari apa?” tanya
Luna.
“mana mungkin aku lupa?” tanya Galih mencium
tangan Luna.
“Hari apa?” tanya Luna meragukan kemampuan
Galih mengingat sesuatu. Tiba-tiba Galih mencium kening Luna dan membisikan
sesuatu. Luna tertawa mendengarnya.
“dasar gombal.” Kata Luna memukul Galih
perlahan.
***
Keduanya
berjalan di tepi pantai di sore hari.
Lalu duduk di
kursi pantai menatap sunset yang indah.
“Lun,” panggil
Galih. “Ya?”
“apa yang kamu
mimpiin tentang aku waktu itu?”
“aku mimpi kamu
ninggalin aku.” Kata Luna sambil memejamkan mata berusaha mengingat bagaimana
Galih meninggalkannya didalam mimpi.
“bagaimana bisa
disana aku ninggalin kamu?”
“gak dijelasin. Tiba-tiba
kita berakhir kamu pergi dengan tersenyum dan aku menangis.”
“terus, kenapa kamu
selalu nangis karena mimpi itu?”
“bagimana cara
aku menangis?” tanya Luna.
“kamu menangis
tanpa suara.”
“di mimpi itu,
kita indah. Kita bahagia. Tapi selalu berakhir kamu ninggalin aku. Tanpa alasan.”
“terus?”
“dan kadang
kali, ada setiap malamnya kamu datang kembali ke aku. Memintaku kembali, namun
aku mengusirmu pergi.”
“kenapa?”
“karena aku mau
kamu datang ke realita. Aku mau kamu nyata—aku mau kamu ada disini.”
Galih tersenyum.
“aku kembali, Luna.”
“terima kasih,
untuk kembali.”
End.